BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Definisi Makelar
Allah.SWT menciptakan manusia dengan suatu sifat saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Tidak ada seorangpun yang dapat menguasai seluruh apa yang diinginkan. Tetapi manusia hanya dapat mencapai sebagian yang dihajatkan itu. Dia mesti memerlukan apa yang menjadi kebutuhan orang lain.
Untuk itu Allah memberikan inspirasi (ilham) kepada mereka untuk mengadakan pertukaran perdagangan dan semua yang kiranya bermanfaat dengan cara jual-beli dan semua cara perhubungan. Sehingga hidup manusia dapat berdiri dengan lurus dan irama hidup ini berjalan dengan baik dan produktif.
Seiring dengan berkembangnya zaman, proses perekonomian pun semakain canggih, dimana sekarang ini orang memerlukan perantara dalam melakukan transaksi jual-beli, yang disebut dengan makelar.
Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.
Sedangkan makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli.Jadi dapat di simpulkan bahwa makelar adalah : Pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah penghubung antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli tersebut. Jelaslah, bahwa makelar merupakan profesi yang banyak manfaatnya untuk masyarakat terutama bagi para produsen, konsumen,dan bagi makelar sendiri. Profesi ini dibutuhkan oleh masyarakat sebagaimana profesi-profesi yang lain.
2.2. Syarat – Syarat Makelar
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan.
Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29, Yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
2. Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan
3. Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram.
Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuhi akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. (Tjiptoherijanto, 1997: 100)
Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian sebagaimana Al Qur’an surat Al-Maidah ayat 1, Yang artinya :“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”
Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang di peroleh pihak makelar. Boleh dalam bentuk presentase dari penjualan, dan juga boleh mengambil dari kelebihan harga yang di tentukan oleh pemilik barang. (Mujtaba, 2007: 240). Jadi, jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian. Apabila jumlah imbalan tidak ditentukan dalam perjanjian, maka hal ini dikembalikan kepada hukum adat yang berlaku di masyarakat setempat.
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:
1. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli
2. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual. (Ad-duwaisyi, 2004: 124)
2.3. Hukum Barang dan Harga
2.3.1. Menjual barang yang haram, hukumnya haram
Apapun kebiasaan yang berlaku, jika membawa kepada perbuatan maksiat adalah dilarang oleh Islam. Atau kalau ada sesuatu yang bermanfaat bagi ummat manusia, tetapi dia itu satu macam daripada kemaksiatan, maka membeli ataupun memperdagangkan hukumnya haram misalnya: babi, arak, makanan dan minuman yang diharamkan secara umum, patung, salib, lukisan dan sebagainya. Karena memperdagangkan barang-barang tersebut dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan maksiat, dapat membawa orang berbuat maksiat atau mempermudah dan mendekatkan manusia untuk menjalankan maksiat. Sedang dengan diharamkannya memperdagangkan hal-hal tersebut dapat melambankan perbuatan maksiat dan dapat mematikan orang untuk ingat kepada kemaksiatan serta menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat.
Untuk itu, maka Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi dan patung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
2.3.2. Menjual barang yang masih samar, terlarang
Setiap aqad perdagangan ada lubang yang membawa pertentangan, apabila barang yang dijual itu tidak diketahui atau karena ada unsur penipuan yang dapat menimbulkan pertentangan antara si penjual dan pembeli atau karena salah satu ada yang menipu. Justru itu cara ini dilarang oleh Rasulullah s.a.w, sebagai usaha menutup pintu perbuatan maksiat (saddud dzara’ik).
Justru itu pula, dilaranglah menjual bibit binatang yang masih ada di dalam tulang rusuk binatang jantan, atau menjual anak yang masih dalam kandungan, atau menjual burung yang terbang di udara, atau menjual ikan yang masih dalam air dan semua macam jual-beli yang terdapat unsur-unsur penipuan.Ini semua justru karena tidak diketahuinya secara pasti benda yang dijualnya itu.
Tidak semua yang masih samar itu terlarang. Sebab sebagian barang ada yang tidak dapat dilepaskan dari kesamaran. Misalnya orang yang akan membeli sebuah rumah, tidak mungkin dia dapat mengetahui fondasi dan apa yang ada di dalam temboknya itu. Tetapi yang dilarang ialah kesamaran yang ada unsur-unsur kejahatan yang memungkinkan dapat membawa kepada permusuhan dan pertentangan atau memakan harta orang lain dengan cara batil.Kalau kesamaran itu tidak seberapa, dan dasarnya ialah urfiyah, maka tidaklah haram, misalnya menjual barang-barang yang berada di dalam tanah, seperti wortel, lobak, brambang dan sebagainya; dan seperti menjual buah-buahan, misalnya mentimun, semangka dan sebagainya.
2.3.3. Mempermainkan Harga
Islam memberikan kebebasan pasar, dan menyerahkannya kepada hukum naluri yang kiranya dapat melaksanakan fungsinya selaras dengan penawaran dan permintaan. Justru itu kita lihat Rasulullah s.a.w. ketika sedang naiknya harga, beliau diminta oleh orang banyak supaya menentukan harga, maka jawab Rasulullah s.a.w.:
“Allahlah yang menentukan harga, yang mencabut, yang meluaskan dan yang memberi rezeki.
Saya mengharap ingin bertemu Allah sedang tidak ada seorang pun di antara kamu yang meminta saya supaya berbuat zalim baik terhadap darah maupun harta benda.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, ad-Darimi dan Abu Ya’la)
Akan tetapi jika keadaan pasar itu tidak normal, misalnya ada penimbunan oleh sementara pedagang, dan adanya permainan harga oleh para pedagang, maka waktu itu kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan perorangan. Dalam situasi demikian kita dibolehkan menetapkan harga demi memenuhi kepentingan masyarakat dan demi menjaga dari perbuatan kesewenang-wenangan dan demi mengurangi keserakahan mereka itu. Begitulah menurut ketetapan prinsip hukum.
Oleh karenanya, jika penetapan harga itu mengandung unsur-unsur kezaliman dan pemaksaan yang tidak betul; yaitu dengan menetapkan suatu harga yang tidak dapat diterima, atau melarang sesuatu yang oleh Allah dibenarkan, maka jelas penetapan harga semacam itu hukumnya haram.Tetapi jika penetapan harga itu penuh dengan keadilan, misalnya dipaksanya mereka untuk menunaikan kewajiban membayar harga mitsil dan melarang mereka menambah dari harga mitsil, maka hal ini dipandang halal, bahkan hukumnya
2.3.4. Penimbun Dilaknat
Sekalipun Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjual dan membeli yang menjadi keinginan hatinya, tetapi Islam menentang dengan keras sifat ananiyah (egois) yang mendorong sementara orang dan ketamakan pribadi untuk menumpuk kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya pribadi, kendati dari bahan baku yang menjadi kebutuhan rakyat.Untuk itu Rasulullah s.a.w. melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras.
Sabda Rasul:
“Barang siapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya.” (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan Bazzar)
Rasulullah s.a.w. menegaskan tentang kepribadian dan ananiyah orang yang suka menimbun itu sebagai berikut:
“Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa gembira.” (hadis ini dibawakan oleh Razin dalam Jami’nya)
2.4. Hukum Makelar Dalam Islam
Makelar untuk orang luar daerah tidak berdosa. Sebab makelar semacam ini salah satu bentuk penunjuk jalan dan perantara antara penjual dengan pembeli, dan banyak memperlancar keluarnya barang dan mendatangkan keuntungan antara kedua belah pihak.
Makelar atau katakanlah perantara dalam perdagangan, di zaman kita ini sangat penting artinya dibandingkan dengan masa-masa yang telah lalu, karena terikatnya perhubungan perdagangan antara importer dan produser, antara pedagang kolektif dan antara pedagang perorangan. Sehingga makelar dalam hal ini berperanan yang sangat penting sekali.
Tidak ada salahnya kalau makelar itu mendapatkan upah kontan berupa uang, atau secara prosentase dari keuntungan atau apa saja yang mereka sepakati bersama.
Al-Bukhari mengatakan dalam kitab Sahihnya: Bahwa Ibnu Sirin, ‘Atha’, Ibrahim dan al-Hasan menganggap tidak salah kalau makelar itu mengambil upah. Dan begitu juga Ibnu Abbas, ia berkata: Tidak ada salahnya kalau pedagang itu berkata kepada makelar: ‘Juallah bajuku ini dengan harga sekian. Adapun lebihnya (jika ada untungnya) maka buat kamu.’ Dan Ibnu Sirin juga berkata: Apabila pedagang berkata kepada makelar: ‘Jualkanlah barangku ini dengan harga sekian, sedang keuntungannya untuk kamu.’ Atau ia berkata: ‘Keuntungannya bagi dua.’, maka hal semacam itu dipandang tidak berdosa.Jadi, Sebab Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda sebagai berikut:
“Orang Islam itu tergantung pada syarat (perjanjian) mereka sendiri.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Hakim dan lain-lain)
Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam tidak bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan bahwa : Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau perantara ini tidak apa-apa.
2.5. Tugas Makelar
Makelar bertugas menjembatani kepentingan antara pihak penjual dan pembeli. Dalam praktik kerja di lapangan banyak berbagai bentuk cara kerja dari seorang makelar. Dari yang ingin untung sendiri dengan mengorbankan kepentingan salah satu pihak (seperti mark up harga jual barang dari penjual) dan tidak bertanggung jawab atas risiko yang mungkin terjadi, sampai yang profesional dengan benar-benar menjembatani kepentingan pihak-pihak yang dihubungkan dan dapat dipertanggungjawabkan.
2.6. Fungsi Makelar
Profesi makelar sebenarnya positif dan layak dihargai pada konteks transaksi bisnis produk dan jasa oleh pelaku swasta. Fungsi makelar di sini dapat memberi dorongan positif bagi terciptanya transaksi perdagangan dan perekonomian masyarakat. Fungsi mereka bukan hanya sebagai perantara untuk melaksanakan proses transaksi barang dan jasa. Makelar kini telah merambah fungsi lain sebagai perantara swasta atau pihak lain untuk mempengaruhi keputusan dan kebijakanan aparat negara.
Makelar akhirnya bertindak menawarkan sesuatu kepada aparat publik untuk memberikan layanan prima dan selanjutnya menerapkan ongkos pada pihak swasta yang memerlukan layanan tersebut.
Dalam persoalan ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi makelar (perantara) mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya itu. Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka, mendapat kemudahan, karena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya. Pekerjaan semacam ini, mengandung unsur tolong menolong.
Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya dan sejalan dengan ajaran islam. Pada zaman sekarang ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak lagi hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang di cari dan menjualkan barang saja. Dengan demikian imbalan jasanya juga harus di tetapkan bersama terlebih dahulu, Apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya kalau nilainya besar, ditangani lebih dahulu perjanjiannya di hadapan notaris.(Hasan, 1997: 88)
Daftar Pustaka :
http://pakar-lampung.blogspot.com/2010/04/baru-sadar-hidup-di-negara-makelar.html
Hukum Makelar dalam Perspektif Islam
http://id.wikipedia.org/wiki/Makelar
http://www.bahtera.org/kateglo/?mod=dict&action=view&phrase=makelar
http://groups.yahoo.com/group/mencintai-islam/message/2154
Halal Dan Haram Dalam Islam 38
http://cerahlintangku.blogspot.com/2010/06/makalah-makelar.html